marquee
Senin, 23 Juni 2014
Rabu, 18 Juni 2014
Kamis, 29 Mei 2014
Kamis, 22 Mei 2014
Selasa, 13 Mei 2014
KPPT menjadi BP2TPM
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota
Bukittinggi awal tahun 2014 telah ditingkatkan statusnya menjadi Badan dengan
nama Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BP2TPM), dengan memindahkan
bidang Penanaman Modal yang sebelumnya melekat pada Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal ke BP2TPM. Hal ini diperkuat dengan Peraturan
Daerah Kota Bukittinngi Nomor : 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kota Bukittinggi Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota
Bukittinggi.
Perubahan ini dilakukan dalam rangka
menindaklanjuti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dimana dijelaskan
bahwa PTSP merupakan Perangkat daerah memiliki tugas pokok dan fungsi dalam
mengelola semua pelayanan perizinan/nonperizinan didaerah dengan sistem satu
pintu.
Pada
prinsipnya semua pelayanan di bidang perizinan mulai dari tahap permohonan
sampai terbitnya dokumen perizinan dikeluarkan hanya pada satu pintu SKPD, maka
secara otomatis apapun bentuk perizinan yang masih dikelola oleh SKPD terkait,
kedepan harus diserahkan pengelolaannya kepada Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu dan Penanaman Modal (BP2TPM) yang telah diberikan wewenang dalam
pengelolaan bidang perizinan / non perizinan.
Keberadaan Permendagri Nomor 24 Tahun 2006
di atas,diperkuat lagi dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 2009
tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal, dan ditindaklanjuti
dengan Instruksi Menteri Dalam Negri RI Nomor.570/3203/SJ tentang Percepatan
Pemberian Izin dan Non Perizinan berusaha tahun 2012, dimana aturan di atas
mendorong semua Pemerintah Daerah agar melakukan percepatan penggabungan kedua
urusan tersebut kedalam satu kesatuan wadah kelembagaan.
Kamis, 08 Mei 2014
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007
TENTANG PENANAMAN MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan
pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi
ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara;
b.
bahwa
sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari
ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi;
c.
bahwa
untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan
politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk
mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal
yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;
d.
bahwa
dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia
dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal
yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien
dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional; e. bahwa Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri perlu diganti karena
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan
pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang penanaman modal;
e.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanaman
Modal.
Mengingat:
Pasal 4 ayat (1),
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 20, serta
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENANAMAN MODAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Penanaman
modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia.
2.
Penanaman
modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam
negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
3.
Penanaman
modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang
menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal
dalam negeri.
4.
Penanam
modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang
dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
5.
Penanam
modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha
Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman
modal di wilayah negara Republik Indonesia.
6.
Penanam
modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau
pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik
Indonesia.
7.
Modal
adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki
oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.
8.
Modal
asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara
asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia
yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.
9.
Modal
dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia,
perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan
hukum atau tidak berbadan hukum.
10.
Pelayanan
terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan
nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga
atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses
pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya
dokumen yang dilakukan dalam satu tempat,
11.
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
12.
Pemerintah
pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia,
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13.
Pemerintah
daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Ketentuan dalam
Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah
negara Republik Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
(1) Penanaman
modal diselenggarakan berdasarkan asas:
a.
kepastian
hukum;
b.
keterbukaan;
c.
akuntabilitas;
d.
perlakuan
yang sama dan tidak membedakan asal negara;
e.
kebersamaan;
f.
efisiensi
berkeadilan; g. berkelanjutan;
g.
berwawasan
lingkungan;
h.
kemandirian;
dan
i.
keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(2) Tujuan
penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:
a.
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional;
b.
menciptakan
lapangan kerja;
c.
meningkatkan
pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d.
meningkatkan
kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e.
meningkatkan
kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
f.
mendorong
pengembangan ekonomi kerakyatan;
g.
mengolah
ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang
berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan
h.
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
BAB III
KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL
Pasal 4
(1) Pemerintah
menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:
a.
mendorong
terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk
penguatan daya saing perekonomian nasional; dan
b.
mempercepat
peningkatan penanaman modal.
(2) Dalam
menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
a.
memberi
perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b.
menjamin
kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal
sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman
modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan
c.
membuka
kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi.
(3) Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman
Modal.
BAB IV
BENTUK BADAN USAHA DAN KEDUDUKAN
Pasal 5
1)
Penanaman
modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk
badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2)
Penanaman
modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang.
3)
Penanam
modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk
perseroan terbatas dilakukan dengan:
a. mengambil bagian saham pada
saat pendirian perseroan terbatas;
b. membeli saham; dan
c. melakukan cara lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PERLAKUAN TERHADAP PENANAMAN MODAL
Pasal 6
1)
Pemerintah
memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari
negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2)
Perlakuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu
negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan
Indonesia.
Pasal 7
1)
Pemerintah
tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
2)
Dalam
hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan
kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
3)
Jika
diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan
melalui arbitrase.
Pasal 8
1)
Penanam
modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh
penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2)
Aset
yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang
ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara.
3)
Penanam
modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing,
antara lain terhadap:
a.
modal;
b.
keuntungan,
bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;
c.
dana
yang diperlukan untuk:
1.
pembelian
bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau
2.
penggantian
barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal;
d.
tambahan
dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;
e.
dana
untuk pembayaran kembali pinjaman;
f.
royalti
atau biaya yang harus dibayar;
g.
pendapatan
dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman
modal;
h.
hasil
penjualan atau likuidasi penanaman modal;
i.
kompensasi
atas kerugian;
j.
kompensasi
atas pengambilalihan;
k.
pembayaran
yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa
teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan
pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
4)
Hak
untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi:
a.
kewenangan
Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundang- undangan yang
mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana;
b.
hak
Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan
Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c.
pelaksanaan
hukum yang melindungi hak kreditor; dan
d.
pelaksanaan
hukum untuk menghindari kerugian negara.
Pasal 9
1)
Dalam
hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal:
a.
penyidik
atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak
melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan
b.
pengadilan
berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi
berdasarkan gugatan.
2)
Bank
atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh
tanggung jawab penanam modal.
BAB VI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 10
1)
Perusahaan
penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga
kerja warga negara Indonesia.
2)
Perusahaan
penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan
dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3)
Perusahaan
penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara
Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4)
Perusahaan
penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan
menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja
warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 11
1)
Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan untuk diselesaikan secara
musyawarah antara perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja.
2)
Jika
penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai hasil,
penyelesaiannya dilakukan melalui upaya mekanisme tripartit.
3)
Jika
penyelesaian sebagaimana, dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai hasil,
perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui pengadilan hubungan industrial.
BAB VII
BIDANG USAHA
Pasal 12
1)
Semua
bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali
bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan.
2)
Bidang
usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:
a. produksi senjata, mesiu,
alat peledak, dan peralatan perang; dan
b. bidang usaha yang secara
eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
3)
Pemerintah
berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman
modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan,
moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan ,dan keamanan nasional, serta kepentingan
nasional lainnya.
4)
Kriteria
dan persyaratan bidang usaha. yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan
serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan
masing- masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.
5)
Pemerintah
menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria
kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan,
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi
dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam
negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
BAB VIII
PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL BAGI USAHA MIKRO,
KECIL, MENENGAH, DAN KOPERASI
Pasal 13
1)
Pemerintah
wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil,
menengah; dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan
syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
2)
Pemerintah
melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi
dan perluasan pasar; serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya,
BAB IX
HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB PENANAM MODAL
Pasal 14
Setiap penanam
modal berhak mendapat:
a.
kepastian
hak, hukum, dan perlindungan;
b.
informasi
yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
c.
hak
pelayanan; dan
d.
berbagai
bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 15
Setiap penanam
modal berkewajiban:
a.
menerapkan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b.
melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan;
c.
membuat
laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal;
d.
menghormati
tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
e.
mematuhi
semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Setiap penanam
modal bertanggung jawab:
a.
menjamin
tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban
dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau
menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c.
menciptakan
iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang
merugikan negara;
d.
menjaga
kelestarian lingkungan hidup;
e.
menciptakan
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan
f.
mematuhi
semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang
tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan
lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
BAB X
FASILITAS
PENANAMAN MODAL
Pasal 18
1) Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam
modal yang melakukan penanaman modal.
2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang:
a. melakukan peluasan usaha;
atau
b. melakukan penanaman modal
baru.
3) Penanaman modal yang mendapat fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah
satu kriteria berikut ini:
a.
menyerap banyak tenaga kerja;
b.
termasuk skala prioritas tinggi;
c.
termasuk pembangunan infrastruktur;
d.
melakukan alih teknologi;
e.
melakukan industri pionir;
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal,
daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup; h.
melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
h.
bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah
atau koperasi; atau j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
4)
Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa:
a.
pajak penghasilan melalui pengurangan
penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang
dilakukan dalam waktu tertentu;
b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor
barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri;
c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku
atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan
persyaratan tertentu;
d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan
Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan
produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu
tertentu; e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
e.
keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya
untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
5)
Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan
badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman
modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki
keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian
nasional.
6)
Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung
yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan
fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk.
7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6)
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 19
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4)
dan ayat (5) diberikan berdasarkan kebijakan industri nasional yang ditetapkan
oleh Pemerintah.
Pasal 20
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak
berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas.
Pasal 21
Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,
Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan
penanaman modal untuk memperoleh: a. hak atas tanah; b. fasilitas pelayanan
keimigrasian; dan c. fasilitas perizinan impor.
Pasal 22
1) Kemudahan
pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui
kembali atas permohonan penanam modal, berupa:
a.
Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95
(sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35
(tiga puluh lima) tahun;
b.
Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah
80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga
puluh) tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45
(empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
2) Hak
atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang
di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara
lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka
panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih
berdaya saing;
b.
penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman
modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan
jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang
luas;
d.
penanaman modal dengan menggunakan hak atas
tanah negara; dan
e.
penanaman modal yang tidak mengganggu rasa
keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
3) Hak
atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih
digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan
pemberian hak.
4) Pemberian
dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat
diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan
atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan
tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 23
1) Kemudahan
pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 huruf b dapat diberikan untuk:
a. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja
asing dalam merealisasikan penanaman modal;
b.
penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja
asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi
lainnya, dan pelayanan purnajual; dan
c. calon penanam modal yang akan melakukan
penjajakan penanaman modal.
2) Kemudahan
pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal.
3) Untuk
penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu:
a. pemberian
izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun;
b. pemberian
alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap
dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun
berturut-turut;
c. pemberian
izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal
terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas
diberikan;
d. pemberian
izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal
terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas
diberikan; dan
e. pemberian
izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal
tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan.
4) Pemberian
izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar
rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pasal 24
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas
perizinan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dapat diberikan
untuk impor:
a. barang
yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur perdagangan barang;
b. barang
yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan,
lingkungan hidup, dan moral bangsa;
c. barang
dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia; dan
d. barang
modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri.
BAB XI
PENGESAHAN DAN
PERIZINAN PERUSAHAAN
Pasal 25
1) Penanam
modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang ini.
2) Pengesahan
pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum
atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3) Pengesahan
pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Perusahaan
penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki
kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
5) Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan terpadu satu
pintu.
Pasal 26
1)
Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu
penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi
mengenai penanaman modal.
2)
Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh
lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat
pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki
kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat atau lembaga atau
instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan nonperizinan di provinsi
atau kabupaten/kota.
3)
Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan
pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB XII
KOORDINASI DAN
PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL
Pasal 27
1) Pemerintah
mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antarinstansi
Pemerintah, antara instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antara instansi
Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antarpemerintah daerah.
2) Koordinasi
pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.
3) Badan
Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh
seorang kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
4) Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 28
1) Dalam
rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal, Badan
Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan
kebijakan di bidang penanaman modal;
b.
mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan
penanaman modal;
c. menetapkan norma, standar, dan prosedur
pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;
d.
mengembangkan peluang dan potensi penanaman
modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha; e. membuat peta penanaman
modal Indonesia;
e.
mempromosikan penanaman modal;
f. mengembangkan sektor usaha penanaman modal
melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan,
meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan
menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan
penanaman modal;
g. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan
konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan
penanaman modal;
h. mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang
menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; dan
i. mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu
satu pintu.
2) Selain
tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Badan Koordinasi
Penanaman Modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan
terpadu satu pintu, Badan Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan
perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat
yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
BAB XIII
PENYELENGGARAAN
URUSAN PENANAMAN MODAL
Pasal 30
1) Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi
pelaksanaan penanaman modal.
2) Pemerintah
daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah.
3) Penyelenggaraan
urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib
pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
4) Penyelenggaraan
penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan
Pemerintah.
5) Penyelenggaraan
penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan
pemerintah provinsi.
6) Penyelenggaraan
penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi
urusan pemerintah kabupaten/kota.
7) Dalam
urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan
Pemerintah adalah
a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam
yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;
b. penanaman modal pada bidang industri yang
merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
c. penanaman modal yang terkait pada fungsi
pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan
strategi pertahanan dan keamanan nasional;
e. penanaman modal asing dan penanam modal yang
menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang
didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain;
dan
f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan
Pemerintah menurut undang- undang.
8) Dalam
urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya
sendiri, melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi
pemerintah kabupaten/kota.
9) Ketentuan
mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KAWASAN EKONOMI
KHUSUS
Pasal 31
1) Untuk
mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis
bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan
suatu daerah, dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.
2) Pemerintah
berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi
khusus.
3) Ketentuan
mengenai kawasan ekonomi, khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan undang-undang.
BAB XV
PENYELESAIAN
SENGKETA
Pasal 32
1) Dalam
hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui
musyawarah dan mufakat.
2) Dalam
hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
3) Dalam
hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui
arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa
melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan
dilakukan di pengadilan.
4) Dalam
hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase
internasional yang harus disepakati oleh para pihak.
BAB XVI
SANKSI
Pasal 33
1) Penanam
modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam
bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang
menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama
orang lain.
2) Dalam
hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian
dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau
pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
3) Dalam
hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau
kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa
tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk
penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan
kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat. yang
berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal
yang bersangkutan.
Pasal 34
1) Badan
usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c.
pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. pencabutan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
2) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau
lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Selain
dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai
sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 35
Perjanjian internasional, baik bilateral, regional,
maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh
Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
Pasal 36
Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral,
regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang belum
disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib
disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 37
1) Pada
saat Undang-Undang ini berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman. Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini.
2) Persetujuan
penanaman modal dan izin pelaksanaan yang telah diberikan oleh Pemerintah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya persetujuan
penanaman modal dan izin pelaksanaan tersebut.
3) Permohonan
penanaman modal dan permohonan lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal
yang telah disampaikan kepada instansi yang berwenang dan pada tanggal
disahkannya Undang-Undang ini belum memperoleh persetujuan Pemerintah wajib
disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang; ini.
4) Perusahaan
penanaman modal yang telah diberi izin usaha oleh Pemerintah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang- Undang Nomor '6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri dan, apabila izin usaha tetapnya telah berakhir, dapat diperpanjang
berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2943); dan
b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan
dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2944); dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 39
Semua Ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan secara langsung dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan
menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.
Pasal 40
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di
Jakarta,
Pada Tanggal 26
April 2007
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di
Jakarta,
Pada Tanggal 26
April 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 67
Langganan:
Postingan (Atom)